Perang Mutah

Strategi Perang Mutah dan Keajaiban di Medan Tempur

safwanquran.com – Ada banyak momen dalam sejarah panjang perjuangan Islam yang mencerminkan keberanian, keimanan, dan keteguhan hati. Salah satu peristiwa luar biasa itu adalah perang mutah, meski tidak sepopuler Perang Badar atau Perang Uhud.  Kisah perang ini menyimpan pelajaran berharga tentang strategi, keikhlasan, dan keajaiban yang terjadi di tengah keterbatasan.

Mari kita menyusuri jejak sejarah ini tidak hanya untuk mengetahui siapa yang menang atau kalah, tapi untuk merenungi hikmah di baliknya.

Bagaimana Perang Mutah Bisa Terjadi

Awal mula terjadinya perang mutah bukan terjadi karena ambisi atau ekspansi kekuasaan. Sebaliknya, perang ini dipicu oleh tindakan keji pada utusan Nabi Muhammad ﷺ yang dibunuh secara zalim saat mengantarkan surat dakwah kepada penguasa daerah Busra, bagian dari kekuasaan Romawi Timur (Bizantium). Tindakan ini melanggar hukum internasional kala itu, bahkan dalam peradaban mana pun, utusan harus dihormati, bukan disakiti.

Nabi Muhammad ﷺ merasa ini adalah bentuk penghinaan terhadap umat Islam dan pelanggaran berat terhadap hak diplomasi. Oleh karena itu , beliau memerintahkan pasukan Muslim berangkat ke wilayah Mutah, yang terletak di sebelah timur Sungai Yordan (sekarang Yordania), untuk memberikan balasan yang setimpal. Namun, bukan balas dendam yang menjadi semangatnya. Tujuan utama tetap dalam bingkai dakwah dan menjaga kehormatan umat Islam, berikut kisahnya:

1. Susunan Pasukan dan Rencana Strategi

Perang Mutah Menariknya jumlah pasukan Muslim hanya sekitar 3.000 orang dibandingkan dengan kekuatan musuh. Gabungan pasukan Bizantium dan sekutu Arab Kristen Ghassan yang mencapai 100.000 hingga 200.000 orang. Perbandingan ini secara logika militer jelas tidak masuk akal.

Namun, Rasulullah ﷺ tidak mengirim pasukan tanpa rencana. Beliau menetapkan struktur kepemimpinan secara berurutan mulai dari Zaid bin Haritsah sebagai komandan utama, bila beliau gugur maka digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan bila Ja’far gugur, maka komando beralih ke Abdullah bin Rawahah.

Ketiganya adalah sahabat yang bukan hanya pemberani, tapi juga sangat mencintai Allah dan Rasul-Nya. Keberanian mereka tidak dari ambisi, tapi dari keimanan yang teguh dan keikhlasan.

2. Detik-Detik di Medan Tempur

Perang Mutah Setibanya di Perang Mutah, pasukan Muslim dihadapkan pada kenyataan pahit karena musuh sangat besar jumlahnya dan mereka berada di medan perang. Beberapa sahabat sempat berdiskusi, apakah sebaiknya pasukan mundur dan mengabarkan situasi kepada Rasulullah ﷺ, atau tetap maju?

Akhirnya, mereka sepakat untuk bertempur dengan prinsip, “Kita tidak berperang karena jumlah, tapi karena kebenaran.”

Pertempuran pun pecah dengan Zaid bin Haritsah sebagai komandan pertama, dan  gugur saat membawa panji Islam. Ja’far bin Abi Thalib maju untuk menggantikan, berperang dengan gagah berani sampai kedua tangannya putus. Namun Beliau tetap memegang panji dengan sisa tubuhnya hingga akhirnya syahid. Kemudian digantikan  Abdullah bin Rawahah yang memegang kendali dan meneruskan pertempuran hingga gugur pula di medan perang.

Tiga pemimpin utama gugur satu per satu, meski suasana sempat kacau, tapi tidak membuat mereka putus asa. Seorang sahabat bernama Khalid bin Walid, yang saat itu baru memeluk Islam, mengambil alih komando tanpa perintah sebelumnya dengan bimbingan Allah. 

3. Strategi Brilian Khalid bin Walid

Perang Mutah Meskipun tidak ditunjuk langsung oleh Rasulullah ﷺ, Khalid tampil sebagai pemimpin yang cakap. Beliau mengatur ulang pasukan, memanfaatkan malam hari untuk menyusun strategi tipu daya.

Salah satu taktiknya adalah menukar posisi pasukan, membuat musuh mengira bala bantuan telah datang. Kuda-kuda juga diarahkan menimbulkan debu tebal, menciptakan ilusi bahwa pasukan Muslim bertambah dan pikiran musuh mulai terguncang.

Keesokan harinya, Khalid melancarkan serangan balik, tetapi bukan untuk menyerang secara frontal. Beliau mengatur strategi agar pasukan Muslim bisa mundur dengan aman dan terhormat, tanpa dikejar oleh musuh. Ini bukan semata taktik perang, tapi strategi untuk menyelamatkan nyawa para sahabat yang tersisa.

Berkat kecerdasannya, pasukan Muslim berhasil kembali ke Madinah meskipun menghadapi tekanan besar. Dalam istilah militer modern, ini disebut sebagai “strategic withdrawal” yang sukses.

Baca Juga: Siapakah Raja Zulkarnain? Pembangun Tembok Ya’juj &  Ma’juj

Reaksi Rasulullah ﷺ dan Masyarakat Madinah

Saat pasukan kembali ke Madinah, beberapa orang mengira mereka kalah karena tidak menang mutlak. Namun Rasulullah ﷺ menyambut mereka dengan tangan terbuka, dan menyebut ketiga pemimpin yang gugur sebagai syuhada dan menyebut Khalid sebagai “Pedang Allah” (Saifullah), gelar kehormatan luar biasa yang tidak diberikan kepada siapa pun sebelumnya.

Salah satu hal yang menakjubkan adalah kabar syahidnya ketiga panglima perang itu diketahui langsung oleh Rasulullah ﷺ secara gaib. Beliau, yang berada di Madinah, menggambarkan kejadian di medan perang seolah menyaksikannya sendiri:

“Zaid bin Haritsah mengambil panji, lalu ia gugur. Kemudian Ja’far mengambil panji, lalu ia gugur. Setelah itu Abdullah bin Rawahah mengambil panji, dan ia pun gugur. Lalu panji itu diambil oleh Pedang dari Pedang-Pedang Allah, hingga Allah memberikan kemenangan.” (HR. Bukhari)

Di sisi lain, tubuh Ja’far disebutkan kehilangan dua tangannya saat bertempur, dan Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa Allah menggantikan tangannya dengan dua sayap di surga, sebagaimana malaikat. Keajaiban ini bukan hanya tentang hal yang luar biasa, tapi juga tentang bagaimana keberanian dan keikhlasan dibalas oleh Allah dengan kemuliaan yang abadi.

Pelajaran dari Perang Mutah

Ada banyak pelajaran yang bisa kita petik dari peristiwa bersejarah perang mutah ini, antara lain:

  1. Keberanian tidak hanya soal jumlah, tapi tentang keyakinan dan strategi meski pasukan muslim kalah jumlah, tapi mereka menang dalam semangat dan moral.
  2. Pemimpin yang baik mampu mengambil keputusan dalam tekanan, Khalid bin Walid menunjukkan kecerdasan dan ketenangan saat situasi yang genting.
  3. Keikhlasan berjuang akan mendapat ganjaran yang luar biasa, baik di dunia maupun di akhirat.
  4. Ujian dalam dakwah itu nyata. Ketika utusan dibunuh, Islam tidak tinggal diam. Ini menunjukkan bahwa Islam menjaga kehormatan dan martabat umatnya, tanpa bertindak sewenang-wenang.
  5. Kemenangan tidak selalu berarti menang perang, tetapi bagaimana umat tetap bertahan dalam prinsip kebenaran.

Baca Juga: Bukti Kebenaran Al Quran dalam Ilmu Sains dan Sejarah

Ingin Menjadi Pejuang Selanjutnya?

Perang Mutah bukan sekadar sejarah lama yang hanya untuk dikenang, serta pesan hidup yang masih relevan untuk saat ini. Yaitu perjuangan di jalan kebaikan memerlukan keberanian, keteguhan, dan kesiapan untuk berkorban. Dalam kehidupan modern, mungkin kita tidak di medan perang secara fisik. Tapi medan perjuangan tetap ada dalam bentuk kejujuran di tempat kerja, kesabaran dalam rumah tangga, hingga komitmen menjaga prinsip di tengah tekanan sosial.

Mari belajar dari Zaid, Ja’far, Abdullah, dan Khalid yang bukan hanya pejuang, tapi juga sahabat sejati yang menunjukkan bahwa iman bisa mengalahkan logika perang. Dan bahwa pertolongan Allah itu nyata, selama kita tetap lurus di jalan-Nya. Mereka tidak hanya gagah di medan perang, tapi juga kuat dalam keimanan dan selalu dekat dengan ayat Allah.

Apa rahasia kekuatan mereka? Al-Qur’an dalam hati dan amal! Kini saatnya kamu pun memulai langkah itu. Yuk, miliki Al-Qur’an terbaik dari Safwan Quran di rumahmu, dengan berbagai pilihan produk inovatif sesuai kebutuhan. Produk yang cocok untuk semua kalangan, mulai dari anak-anak, pemula, hingga penghafal Qur’an, dengan harga terjangkau dan mudah didapatkan. Tersedia dalam berbagai ukuran dan tipe, lengkap dengan fitur tajwid warna transliterasi latin, dan QR video. Tunggu apalagi pesan Al-Qur’an Safwan Quran sekarang juga, siap kirim ke seluruh wilayah Indonesia.

>>>KONTAK<<<

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top